Rabu, 04 Juli 2018

PENGERTIAN WUDHU MENURUT PARA IMAM 4 MADZHAB


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

                Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap Tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Bentuk dan jenis ibadah sangat bermacam – macam, seperti Sholat puasa, naik haji, jihad, membaca Al-Qur’an, dan lainnya. Dan setiap ibadah memiliki syarat – syarat untuk dapat melakukannya, dan ada pula yang tidak memiliki syarat mutlak untuk melakukannya. Diantara ibadah yang memiliki syarat – syarat diantaranya haji, yang memiliki syarat–syarat, yaitu mampu dalam biaya perjalannya, baligh, berakal, dan sebagainya.
Dan contoh lain jika kita akan melakukan ibadah sholat maka syarat untuk melakukan ibadah tersebut ialah kita wajib terbebas dari segala najis maupun dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil.
Kualitas pahala ibadah juga dipermasalah jika kebersihan dan kesucian diri seseorang dari hadats maupun najis belum sempurna. Maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis maupun hadats merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan ibadah, terutama sholat, membaca Al-Qur’an, naik haji, dan lain sebaginya.[1]



B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian wudhu menurut para Ulama’ dan dalil yang mewabjikannya?
2.      Sebutkan rukun-rukun wudhu yang disepakati para Ulama dan yang diperselisihkan?
3.      Sebutkan hal-hal yang membatalkan wudhu menurut para Ulama?
4.      Apa hikmah dari wudhu?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian wudhu menurut para Ulama’
Kata “Wudlu” (وضوء) dibaca dlommah huruf wawunya menurut pendapat yang lebih masyhur, yang dimaksudkan di sini ialah nama bagi suatu perbuatan dan  dibaca fathah huruf wawunya, berarti nama bagi sesuatu benda yang dibuat wudhu . pengertian yang pertama tadi mengandung beberapa fardhu dan sunnah wudhu. [2] Wudhu merupakan salah satu syarat sahnya sholat (orang yang akan sholat, diwajibkan berwudhu lebih dulu, tanpa wudhu shalatnya tidak sah. Sementara menurut istilah fiqih, para ulama mazhab mendefinisikan wudhu menjadi beberapa
pengertian, antara lain :
1.      Al-Hanafiyah mendefiniskan pengertian wudhu yaitu  membasuh dan menyapu dengan air pada anggota badan tertentu.
2.      Al-Malikiyah mendefinisikannyaWudhu’ adalah thaharah dengan menggunakan air yang mencakup anggota badan tertentu, yaitu empat anggota badan, dengan tata cara tertentu.
3.      Asy-Syafi’iyah mendefiniskannya Wudhu’ adalah penggunaan air pada anggota badan tertentu dimulai dengan niat.
4.      Hanabilah mendefinisaknnya Wudhu’ adalah : penggunaan air yang suci pada keempat anggota tubuh yaitu wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki, dengan tata cara tertentu seusai dengan syariah, yang dilakukan secara berurutan dengan sisa furudh.[3]
Wudhu disyariatkan bagi orang yang hendak melaksanakan sholat dan menjadi salah satu syarat sahnya sholat. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah SWT pada surat Al-Ma-idah (5): 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِوَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
”Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur”
Juga didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لاتقبل صلاةُ من احدَثَ حتَّى يتَوضَّأ
“Rasulullah SAW bersabda: Allah tidak menerima sholat orang yang berhadats sebelum ia berwudhu. Dan berdasarkan ijma’, kesepakatan kaum Muslimin atas disyariatkannya wudhu, semenjak zaman Rasulullah SAW hingga sekarang ini, sehingga tak dapat disangkal lagi bahwa ia adalah ketentuan yang berasal dari agama.”


B.     Rukun-rukun wudhu
1)      Rukun wudhu yang disepakati semua Ulama’
a.       Membasuh muka
Membasuh muka menjadi salah satu rukun wudhu berdasarkan frase faghsilu wujuhakum dari QS. Al-Ma-idah: 6 di atas. Membasuh adalah mengalirkan air ke atasnya, karena arti membasuh adalah mengalirkan air. Basuhan harus merata ke seluruh wajah, yaitu mulai dari tempat tumbuhnya rambut/puncak kening sampai ujung dagu dari sisi panjangnya, dan melintang dari pinggir telinga ke pinggir telinga lainnya
b.      Membasuh tangan
Membasuh kedua tangan menjadi bagian dari rukun wudlu yang didasarkan pada frase wa aydiyakum ila al-marafiq dari QS. Al-Ma’idah: 6 di atas. Basuhan harus merata ke seluruh tangan mulai dari ujung-ujung jari hingga kedua siku-siku.
Mayoritas ulama’ sepakat bahwa kedua siku-siku harus dibasuh karena menjadi bagian dari kedua tangan sebagaimana ditunjukkan oleh kata ila yang berarti ma’a (beserta). Artinya membasuh tangan berikut kedua siku-siku. Sedangkan ahl al-dhahir, al Tabari dan sebagian ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa kedua siku tidak wajib dibasuh, karena ila itu menunjukkan batas akhir yang harus dibasuh.
c.       Mengusap kepala
Mengusap kepala menjadi bagian dari rukun wudhu didasarkan pada frase wamsahu bi ru’usikum dari QS. Al-Maidah: 6 di atas.
Satu hal penting yang mesti dipahami bahwa ada perbedaan antara membasuh dan mengusap. Jika membasuh itu berarti air harus mengalir, sedangkan mengusap itu sekedar menyampaikan air tanpa harus mengalir, cukup dengan membasahi tangan kemudian diletakkan di atas kepala. [4]
Batasan mengusap adalah sekira air dapat sampai pada anggota, tanpa harus mengalir. Dalam mengusap sebagian kepala, minimal dengan mengusap apapun yang ada di batas kepala, baik kulit maupun rambut.
Berikut kesunnahan-kesunnahan ketika mengusap kepala:
a)      Mengusap keseluruhan apa yang ada di kepala, cara yang afdhol adalah dengan meletakkan dua jari telunjuk ditarik ke belakang hingga sampai tengkuk, kemudian dikembalikan kea rah kepala bagian depan.
b)      Mengusap daun telinga bagian luar dan dalam serta lubangnya. Caranya yang afdhol adalah dengan memasukkan kedua jari telunjuk yang telah dibasahi air pada lobang telinga, sementara kedua jari telunjuk yang telah dibasahi air pada lobang telinga, sementara kedua ibu jari digunakan untuk mengusap daun telinga dari bawah hingga ke atas, selanjutnya kedua telapak tangan yang telah dibasahi diusapkan pada sudut-sudut kedua telinga agar benar-benar merata.[5]
Tentang ketentuan batas minimal mash-al-ra’s, para ulama berbeda pendapat:
a)      Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa mengusap semua kepala hukumnya wajib, karena ikhtiyat.
b)      Ulama Hanafiyah berpendapat, batas minimal mengusap adalah seperempat kepala, berdasarkan praktek Nabi yang membasuh ubun-ubun ketika mash al-ra’s.
c)      Ulama Syafiiyah berpendapat, bahwa cukup mengusap sebagian kepala.
Perbedaan pendapat tersebut bersumber dari perbedaan mereka di dalam memahami huruf ba’ pada kalimat biru’usikum Ulama Malikiyah dan Hanabilah memahami ba’ tersebut sebagai ziyadah (tambahan) yang berfungsi sebagai penguat saja. Jadi ayat tersebut adalah “….usaplah kepala-kepala kamu”. Mereka juga berpendapat ayat wudhu itu serupa dengan ayat tayammum. Bila dalam tayammum, muka diusap secara keseluruhan, maka ketika wudhu pun, semua kepala wajib diusap.
Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa ba’ pada kalimat biru’usikum menunjukkan sebagian bukan ziyadah. Dengan demikian ayat itu berarti “Usaplah sebagian kepala kamu”. Hanya saja Hanafiyah menentukan sebagian kepala itu adalah seperempat.
d.      Membasuh kaki
Membasuh kedua kaki juga menjadi bagian dari rukun wudhu didasarkan pada frase wa arjulakum ila al-ka’bayn dari QS. Al-ma’idah :6 di atas. Dalam membasuh kaki, kedua mata kaki harus ikut dibasuh sebab pada ayat di atas disebutkan ila al-ka’bayn (beserta kedua kaki). Demikian menurut jumhur ulama. Sebagian kecil ulama seperti madzhab Imamiyah, berpendapat bahwa kaki tidaklah dibasuh tapi cukup diusap, mulai ujung jari sampai pada mata kaki.
2)        Rukun wudhu yang diperselisihkan para Ulama’
a.       Niat
Pengertian niat secara etimologi adalah sengaja, kemauan dalam hati. Sedangkan menurut terminology, menyengaja melakukan sesuatu perbuatan pada saat perbuatan itu dimulai. Dengan demikian dalam konteks wudhu, seseorang berniat dalam hatinya untuk menghilangkan hadas pada saat wudhu dimulai.
Ulama berbeda pendapat tentang dimasukkannya niat dalam jajaran rukun wudhu. Jumhur Ulama’, Syafi’iyyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa niat merupakan salah satu rukun wudhu dengan argumentasi :
a)      Hadits Nabi SAW
انما الأعما ل باالنيّات واالنّمالكل امرئ مانوى
b)      Niat merupakan realisasi dari keikhlasan dan kesungguhan dalam beribadah. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa niat tidak termasuk rukun wudhu dengan dalih bahwa tidak ada satu ayat maupun hadits yang secara eksplisit dan konkret yang menyatakan bahwa niat merupakan bagian dari rukun wudhu.[6]
b.      Berturut-turut
Antara anggota satu dengan lainnya, yaitu dimulai sari wajah dan seterusnya sesuai yang tertera dalam Al-Qur’an. Pertama membasuh wajah, kedua membasuh kedua tangan, ketiga mengusap kepala, dan terakhir membasuh kedua kaki. Penjelasan tersebut adalah menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah yang menyandarkan pendapat pada riwayat dari Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, dan Abu Hurairah R.A. bahwa Nabi berwudhu berdasarkan urutannya, kemudian beliau bersabda:
“beginilah wudhu, sholat tidak diterima kecuali dengan wudhu seperti ini.” (HR. Nasa’i)
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berkata bahwa berturut-turut hukumnya sunnah bukan wajib. Pendapat ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas R.A. :
“Nabi SAW ketika berwudhu beliau membasuh wajah, kedua tangan, kedua kaki, kemudian mengusap kepala beliau dengan sisa air wudhunya.”
c.       Ulama Malikiyah dan Hanabilah menambahkan fadhu wudhu lainnya, yaitu menggosok anggota wudhu menurut ulama Malikiyah. Sementara itu, ulama Hanabilah menambahkan berkumur dan memasukkan air ke hidung, sebab kedua anggota tubuh tersebut termasuk wilayah wajah, serta mengusap kedua telinga karena termasuk bagian dari kepala.[7]
Selain yang tersebut di atas, masih ada beberapa kesunnahan yang bisa dilakukan pada masing-masing rukun, yaitu:
a)      Menggosok anggota wudhu saat pembasuhan
b)      Mengulangi basuhan atau usapan pada anggota wudhu sebanyak tiga kali
c)      Mendahulukan anggota wudhu bagian kanan diwaktu membasuh tangan dan kaki
d)     Muwalah (kontinyu, tanpa menunda-nunda), yaitu: menyegerakan basuhan setiap anggota wudhu selagi anggota sebelumnya belum mongering.
e)      Dikerjakan sendiri (tidak dibantu oleh orang lain di dalam pengusapan atau pembasuhan anggota wudhu’)
f)       Tidak berbicara disaat wudhu kecuali apabila amat dibutuhkan
g)      Tidak mengeringkan anggota wudhu yang telah dibasuh dengan semisal handuk, kecuali karena udzur, seperti kedinginan dan lain sebagainya.[8]
C.     Hal-hal yang membatalkan wudhu
Hal-hal yang membatalkan wudhu adalah sebagai berikut:
1.      Keluar sesuatu dari dua pintu atau dari salah satunya, baik berupa zat maupun angin, yang biasa ataupun tidak biasa, seperti darah baik yang keluar itu najis ataupun suci, seperti ulat.
Firman Allah SWT:
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
            “atau kembali dari tempat buang air.” (An-Nisa:43)
       Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa orang yang datang dari kakus kalau tidak ada air hendaklah ia tayamum. Berarti buang air itu membatalkan wudhu.
            Sabda Rasulullah SAW :
لا يَقبَلُ الله صَلاَتَ اَحَدِكم اذا اَحدَثَ حتَّ يتوضَّأَ – متفق عليه
       “Allah tidak menerima salat seseorang apabila ia berhadas (keluar sesuatu dari salah satu kedua lobang) sebelum ia berwudhu.” (sepakat ahli hadits)

2.      Hilang akal
Hilang akal karena mabuk/gila. Demikian pula karena tidur dengan tempat keluar angin yang tidak tertutup. Sedangkan tidur dengan pintu keluar angin yang tertutup, seperti orang tidur dengan pintu keluar angin yang tertutup, seperti orang tidur dengan duduk yang tetap, tidaklah batal wudhunya. adapun tidur dengan duduk yang tetap keadaan badannya, tidak membatalkan wudhu karena tiada timbul sangkaan bahwa ada sesuatu yang keluar darinya. Ada pula hadits riwayat Muslim, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah SAW pernah tertidur, kemudian mereka salat atanpa berwudhu lagi. [9]
3.      Keluar Sperma
Keluarnya sperma yang menjadi sebab batalnya wudhu adalah yang keluarnya tanpa rasa nikmatdan dikeluarkan dengan sengaja. Kecuali ulama’ Syafi’iyah, dalam pandangan mereka keluarnya sperma menyebabkan seseorang wajib mandi dan bukan sebab batalnya wudhu, baik keluarnya dengan kenikmatan atau selainnya.
4.      Keluar Wadi
Wadi adalah cairan kental putih yang keluar setelah buang air kecil. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas yang telah kami sebutkan sebelumnya. Demikian pula halnya dengan air haadi, yaitu cairan putih yang keluar dari kemaluan wanita sebelum melahirkan.  Adapun sesuatu yang tidak biasa keluar seperti cacing, tongkat, darah, dan nanah, maka hukumnya sama, yaitu membatalkan wudhu. Kecuali ulama Malikiyah, menurut mereka keluarnya sesuatu yang tidak biasa keluar dari dua jalan tidak membatalkan wudhu, selama sesuatu yang keluar itu bukan karena sebelumnya orang tersebut menelannya kemudian keluar. Jika sebelumnya orang tersebut menelannya maka wudhunya batal.
5.      Menyentuh wanita
Dalam pandangan ulama Hanafiyah, menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu, kecuali disertai dengan bertemunya dua kemaluan tanpa penghalang. Jika hanya bersentuhan kulit satu dengan lainnya, maka tidak membatalkan wudhu. Hal tersebut didasarkan riwayat dari Aisyah R.A. dia berkata:
“Rasulullah SAW pernah mencium sebagian istri beliau kemudian keluar untuk mengerjakan sholat tanpa berwudhu lagi.” (HR. Ahmad)
Sementara Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu. Menurut pendapat mereka hokum tersebut juga berlaku bagi orang yang menyentuh laki-laki yang memiliki paras cantik layaknya wanita, maka menyentuhnya dengan kenikmatan dapat membatalkan wudhu.[10]



6.      Menyentuh farji
Menyentuh kemaluan anak Adam dengan bathinnya telapak tangan dari diri orang yang berwudhu dan lainnya, baik itu laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, masih hidup atau sudah mati.[11]
D.    Hikmah Wudhu
1.      Membersihkan dan Menyegarkan tubuh

Aktifitas Wudhu dilaksanakan tidak semata-mata membasuh anggota tubuh dan untuk menyegarkannya, namun wudhu adalah salah satu kewajiban yang dilaksanakan ketika ingin melaksanakan ibadah (Shalat) bagi kaum muslim, secara logika membasuh air pada bagian anggota tubuh akan membuat tubuh kita menjadi segar, namun hikmah tersebdiri dari kesegaran itu adalah kebersihan dari anggota tubuh yang dibasuh.

2. Menjernihkan pikiran dan akal

Akal merupakan suatu alat untuk mengukur baik buruknya sesuatu, mengontrol bagian tubuh yang lain dan berbagai perihal yang berhubungan dengan akal/pekerjaan otak. Pikiran dan akal manusia adalah ujung tombak dari sebuah tindakan yang pada akhirnya berujung pada tindakan yang dinilai baik dan buruk oleh orang lain.

3. Memelihara Akhlak

Dengan jernihnya akal dan pikiran kita maka perilaku atau perbuatan kita akan terkontrol, perilaku dan aktifitas yang terkontrol baik oleh akal akan membuat seseorang melakukan hal-hal positif yang tentunya berakhlak.[12]


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN:
A.    Pengertian wudhu
Wudhu merupakan salah satu syarat sahnya sholat (orang yang akan sholat, diwajibkan berwudhu lebih dulu, tanpa wudhu shalatnya tidak sah.
B.     Rukun-rukun wudhu
Yang disepakati ulama’:
Membasuh muka, membasuh tangan, mengusap kepala, membasuh kaki
Yang diperselisihkan para ulama’:
Niat, berturut-turut, menggosok anggota wudhu
C.     Hal-hal yang membatalkan wudhu
1.       Keluar sesuatu dari dua pintu atau dari salah satunya
2.       Hilang akal
3.       Keluar sperma
4.       Keluar Wadi
5.       Menyentuh wanita
6.       Menyentuh farji
D.    Hikmah wudhu
1.      Membersihkan dan menyegarkan tubuh
2.      Menjernihkan pikiran dan akal
3.      Memelihara Akhlaq





DAFTAR PUSTAKA

Ulfah Isnatin. Fiqh ibadah: menurut Al-Qur’an, sunnah dan tinjauan berbagai madzhab. Ponorogo: STAIN PO PRESS, 2009

Abu Amar, Imron. Fathul qorib. Kudus: Menara Kudus, 1983

Ar-rahbawi, Abdu Qadir. Fiqh Sholat: empat madzhab. Yogyakarta: Hikam pustaka, 2007
Rasyid, sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: sinar baru aslgensindo, 1954
Zainuddin, dzajuli. Fiqh ibabah: panduan lengkap versi ahlusunnah. Kediri: lembaga ta’lif wannasyr, 2008
A.    Illank, hikmah dan keajaiban wudhu (on line) http://cinikironk.blogspot.co.id/2013/09/hikmah-keajaiban-wudhu.html# Diakses 13 September 2013
Muhammad Saepullah, shalat dan wudhu menurut beberapa pendapat, (on line) http://www.pkbmberkah.org/?p=1202. Diakses tanggal 5 Februari 2016
Nugraha Wisnu Putra, Hadas dan Najis, (online). https://nugrahawisnuputra.wordpress.com.  Diakses tanggal 01 Desember 2014



[1] Nugraha Wisnu Putra, Hadas dan Najis, (online). https://nugrahawisnuputra.wordpress.com.  Diakses tanggal 01 Desember 2014
[2] H. imron Abu Amar, fathul qorib (Kudus: Menara Kudus, 1983), 12.
[3] Muhammad Saepullah, shalat dan wudhu menurut beberapa pendapat, (on line) http://www.pkbmberkah.org/?p=1202. Diakses tanggal 5 Februari 2016
[4] Isnatin Ulfah, Fiqh Ibadah: menurut Al-qur’an, Sunnah dan tinjauan Berbagai Madzhab (Ponorogo: STAIN PO Press, 2009), 18.
[5] KH.A. Zainuddin Djazuli, Fiqh Ibadah: Panduan Lengkap Versi Ahlusunnah (Kediri: Lembaga Ta’lif Wannasyr, 2008), 12.
[6] Isnatin Ulfah, Fiqh Ibadah: menurut Al-qur’an, Sunnah dan tinjauan Berbagai Madzhab (Ponorogo: STAIN PO Press, 2009), 18.
[7] Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fiqh Shalat: empat madzhab (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2007), 78.
[8] [8] KH.A. Zainuddin Djazuli, Fiqh Ibadah: Panduan Lengkap Versi Ahlusunnah (Kediri: Lembaga Ta’lif Wannasyr, 2008), 15.
[9] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Jakarta: Sinar Baru Algensindo, 1954), 30.
[10] Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fiqh Shalat: empat madzhab (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2007), 95.
[11] H. imron Abu Amar, fathul qorib (Kudus: Menara Kudus, 1983), 26.
[12] A. Illank, hikmah dan keajaiban wudhu (on line) http://cinikironk.blogspot.co.id/2013/09/hikmah-keajaiban-wudhu.html# Diakses 13 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar