BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap
Tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan di
dunia dan di akhirat nanti. Bentuk dan jenis ibadah sangat bermacam – macam,
seperti Sholat puasa, naik haji, jihad, membaca Al-Qur’an, dan lainnya. Dan
setiap ibadah memiliki syarat – syarat untuk dapat melakukannya, dan ada pula
yang tidak memiliki syarat mutlak untuk melakukannya. Diantara ibadah yang
memiliki syarat – syarat diantaranya haji, yang memiliki syarat–syarat, yaitu
mampu dalam biaya perjalannya, baligh, berakal, dan sebagainya.
Dan contoh lain jika kita akan melakukan ibadah sholat maka syarat untuk melakukan ibadah tersebut ialah kita wajib terbebas dari segala najis maupun dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil.
Kualitas pahala ibadah juga dipermasalah jika kebersihan dan kesucian diri seseorang dari hadats maupun najis belum sempurna. Maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis maupun hadats merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan ibadah, terutama sholat, membaca Al-Qur’an, naik haji, dan lain sebaginya.[1]
Dan contoh lain jika kita akan melakukan ibadah sholat maka syarat untuk melakukan ibadah tersebut ialah kita wajib terbebas dari segala najis maupun dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil.
Kualitas pahala ibadah juga dipermasalah jika kebersihan dan kesucian diri seseorang dari hadats maupun najis belum sempurna. Maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis maupun hadats merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan ibadah, terutama sholat, membaca Al-Qur’an, naik haji, dan lain sebaginya.[1]
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
wudhu menurut para Ulama’ dan dalil yang mewabjikannya?
2.
Sebutkan
rukun-rukun wudhu yang disepakati para Ulama dan yang diperselisihkan?
3.
Sebutkan
hal-hal yang membatalkan wudhu menurut para Ulama?
4.
Apa
hikmah dari wudhu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
wudhu menurut para Ulama’
Kata “Wudlu” (وضوء) dibaca
dlommah huruf wawunya menurut pendapat yang lebih masyhur, yang dimaksudkan di
sini ialah nama bagi suatu perbuatan dan
dibaca fathah huruf wawunya, berarti nama bagi sesuatu benda yang dibuat
wudhu . pengertian yang pertama tadi mengandung beberapa fardhu dan sunnah
wudhu. [2] Wudhu
merupakan salah satu syarat sahnya sholat (orang yang akan sholat, diwajibkan
berwudhu lebih dulu, tanpa wudhu shalatnya tidak sah. Sementara menurut istilah fiqih,
para ulama mazhab mendefinisikan wudhu menjadi beberapa
pengertian, antara lain :
1. Al-Hanafiyah
mendefiniskan pengertian wudhu yaitu membasuh dan menyapu dengan air pada
anggota badan tertentu.
2.
Al-Malikiyah mendefinisikannyaWudhu’ adalah thaharah dengan menggunakan air
yang mencakup anggota badan tertentu, yaitu empat anggota badan, dengan tata
cara tertentu.
3.
Asy-Syafi’iyah mendefiniskannya Wudhu’ adalah penggunaan air pada anggota badan
tertentu dimulai dengan niat.
4.
Hanabilah mendefinisaknnya Wudhu’ adalah : penggunaan air yang suci pada
keempat anggota tubuh yaitu wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki, dengan
tata cara tertentu seusai dengan syariah, yang dilakukan secara berurutan
dengan sisa furudh.[3]
Wudhu
disyariatkan bagi orang yang hendak melaksanakan sholat dan menjadi salah satu
syarat sahnya sholat. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah SWT pada surat
Al-Ma-idah (5): 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِوَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ
لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
”Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka
basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika
kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, bertayammumlah
dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu.
Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur”
Juga didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW:
قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم لاتقبل صلاةُ من احدَثَ حتَّى يتَوضَّأ
“Rasulullah SAW bersabda: Allah tidak menerima
sholat orang yang berhadats sebelum ia berwudhu. Dan berdasarkan ijma’,
kesepakatan kaum Muslimin atas disyariatkannya wudhu, semenjak zaman Rasulullah
SAW hingga sekarang ini, sehingga tak dapat disangkal lagi bahwa ia adalah
ketentuan yang berasal dari agama.”
B.
Rukun-rukun
wudhu
1)
Rukun
wudhu yang disepakati semua Ulama’
a.
Membasuh
muka
Membasuh muka menjadi salah satu rukun wudhu berdasarkan frase faghsilu
wujuhakum dari QS. Al-Ma-idah: 6 di atas. Membasuh adalah mengalirkan air
ke atasnya, karena arti membasuh adalah mengalirkan air. Basuhan harus merata
ke seluruh wajah, yaitu mulai dari tempat tumbuhnya rambut/puncak kening sampai
ujung dagu dari sisi panjangnya, dan melintang dari pinggir telinga ke pinggir
telinga lainnya
b.
Membasuh
tangan
Membasuh kedua tangan menjadi bagian dari rukun wudlu yang
didasarkan pada frase wa aydiyakum ila al-marafiq dari QS. Al-Ma’idah: 6
di atas. Basuhan harus merata ke seluruh tangan mulai dari ujung-ujung jari
hingga kedua siku-siku.
Mayoritas ulama’ sepakat bahwa kedua siku-siku harus dibasuh karena
menjadi bagian dari kedua tangan sebagaimana ditunjukkan oleh kata ila
yang berarti ma’a (beserta). Artinya membasuh tangan berikut kedua
siku-siku. Sedangkan ahl al-dhahir, al Tabari dan sebagian ulama’ Malikiyah
berpendapat bahwa kedua siku tidak wajib dibasuh, karena ila itu
menunjukkan batas akhir yang harus dibasuh.
c.
Mengusap
kepala
Mengusap kepala menjadi bagian dari rukun wudhu didasarkan pada
frase wamsahu bi ru’usikum dari QS. Al-Maidah: 6 di atas.
Satu hal penting yang mesti dipahami bahwa ada perbedaan antara
membasuh dan mengusap. Jika membasuh itu berarti air harus mengalir, sedangkan
mengusap itu sekedar menyampaikan air tanpa harus mengalir, cukup dengan
membasahi tangan kemudian diletakkan di atas kepala. [4]
Batasan mengusap adalah sekira air dapat sampai pada anggota, tanpa
harus mengalir. Dalam mengusap sebagian kepala, minimal dengan mengusap apapun
yang ada di batas kepala, baik kulit maupun rambut.
Berikut kesunnahan-kesunnahan ketika mengusap kepala:
a)
Mengusap
keseluruhan apa yang ada di kepala, cara yang afdhol adalah dengan meletakkan
dua jari telunjuk ditarik ke belakang hingga sampai tengkuk, kemudian
dikembalikan kea rah kepala bagian depan.
b)
Mengusap
daun telinga bagian luar dan dalam serta lubangnya. Caranya yang afdhol adalah
dengan memasukkan kedua jari telunjuk yang telah dibasahi air pada lobang
telinga, sementara kedua jari telunjuk yang telah dibasahi air pada lobang
telinga, sementara kedua ibu jari digunakan untuk mengusap daun telinga dari
bawah hingga ke atas, selanjutnya kedua telapak tangan yang telah dibasahi
diusapkan pada sudut-sudut kedua telinga agar benar-benar merata.[5]
Tentang
ketentuan batas minimal mash-al-ra’s, para ulama berbeda pendapat:
a)
Ulama Malikiyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa mengusap semua kepala hukumnya wajib, karena ikhtiyat.
b)
Ulama
Hanafiyah berpendapat, batas minimal mengusap adalah seperempat kepala,
berdasarkan praktek Nabi yang membasuh ubun-ubun ketika mash al-ra’s.
c)
Ulama
Syafiiyah berpendapat, bahwa cukup mengusap sebagian kepala.
Perbedaan pendapat tersebut bersumber dari perbedaan mereka di dalam
memahami huruf ba’ pada kalimat biru’usikum Ulama Malikiyah dan
Hanabilah memahami ba’ tersebut sebagai ziyadah (tambahan) yang
berfungsi sebagai penguat saja. Jadi ayat tersebut adalah “….usaplah
kepala-kepala kamu”. Mereka juga berpendapat ayat wudhu itu serupa dengan
ayat tayammum. Bila dalam tayammum, muka diusap secara keseluruhan, maka ketika
wudhu pun, semua kepala wajib diusap.
Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa ba’ pada kalimat biru’usikum
menunjukkan sebagian bukan ziyadah. Dengan demikian ayat itu berarti “Usaplah
sebagian kepala kamu”. Hanya saja Hanafiyah menentukan sebagian kepala itu
adalah seperempat.
d.
Membasuh
kaki
Membasuh kedua kaki juga menjadi bagian dari rukun wudhu didasarkan
pada frase wa arjulakum ila al-ka’bayn dari QS. Al-ma’idah :6 di atas.
Dalam membasuh kaki, kedua mata kaki harus ikut dibasuh sebab pada ayat di atas
disebutkan ila al-ka’bayn (beserta kedua kaki). Demikian menurut jumhur
ulama. Sebagian kecil ulama seperti madzhab Imamiyah, berpendapat bahwa kaki
tidaklah dibasuh tapi cukup diusap, mulai ujung jari sampai pada mata kaki.
2)
Rukun
wudhu yang diperselisihkan para Ulama’
a.
Niat
Pengertian niat secara etimologi adalah sengaja, kemauan dalam hati.
Sedangkan menurut terminology, menyengaja melakukan sesuatu perbuatan pada saat
perbuatan itu dimulai. Dengan demikian dalam konteks wudhu, seseorang berniat
dalam hatinya untuk menghilangkan hadas pada saat wudhu dimulai.
Ulama berbeda pendapat tentang dimasukkannya niat dalam jajaran
rukun wudhu. Jumhur Ulama’, Syafi’iyyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa niat merupakan salah satu rukun wudhu dengan argumentasi :
a)
Hadits
Nabi SAW
انما الأعما ل
باالنيّات واالنّمالكل امرئ مانوى
b)
Niat
merupakan realisasi dari keikhlasan dan kesungguhan dalam beribadah. Sedangkan
ulama Hanafiyah berpendapat bahwa niat tidak termasuk rukun wudhu dengan dalih
bahwa tidak ada satu ayat maupun hadits yang secara eksplisit dan konkret yang
menyatakan bahwa niat merupakan bagian dari rukun wudhu.[6]
b.
Berturut-turut
Antara anggota satu dengan lainnya, yaitu dimulai sari wajah dan
seterusnya sesuai yang tertera dalam Al-Qur’an. Pertama membasuh wajah, kedua
membasuh kedua tangan, ketiga mengusap kepala, dan terakhir membasuh kedua
kaki. Penjelasan tersebut adalah menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah yang
menyandarkan pendapat pada riwayat dari Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, dan Abu
Hurairah R.A. bahwa Nabi berwudhu berdasarkan urutannya, kemudian beliau
bersabda:
“beginilah wudhu, sholat tidak diterima kecuali dengan wudhu seperti
ini.” (HR. Nasa’i)
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berkata bahwa berturut-turut hukumnya
sunnah bukan wajib. Pendapat ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas R.A. :
“Nabi SAW ketika berwudhu beliau membasuh wajah, kedua tangan, kedua
kaki, kemudian mengusap kepala beliau dengan sisa air wudhunya.”
c.
Ulama
Malikiyah dan Hanabilah menambahkan fadhu wudhu lainnya, yaitu menggosok
anggota wudhu menurut ulama Malikiyah. Sementara itu, ulama Hanabilah
menambahkan berkumur dan memasukkan air ke hidung, sebab kedua anggota tubuh
tersebut termasuk wilayah wajah, serta mengusap kedua telinga karena termasuk
bagian dari kepala.[7]
Selain yang
tersebut di atas, masih ada beberapa kesunnahan yang bisa dilakukan pada
masing-masing rukun, yaitu:
a)
Menggosok
anggota wudhu saat pembasuhan
b)
Mengulangi
basuhan atau usapan pada anggota wudhu sebanyak tiga kali
c)
Mendahulukan
anggota wudhu bagian kanan diwaktu membasuh tangan dan kaki
d)
Muwalah
(kontinyu, tanpa menunda-nunda), yaitu: menyegerakan basuhan setiap anggota
wudhu selagi anggota sebelumnya belum mongering.
e)
Dikerjakan
sendiri (tidak dibantu oleh orang lain di dalam pengusapan atau pembasuhan
anggota wudhu’)
f)
Tidak
berbicara disaat wudhu kecuali apabila amat dibutuhkan
g)
Tidak
mengeringkan anggota wudhu yang telah dibasuh dengan semisal handuk, kecuali
karena udzur, seperti kedinginan dan lain sebagainya.[8]
C.
Hal-hal
yang membatalkan wudhu
Hal-hal yang membatalkan wudhu adalah sebagai berikut:
1.
Keluar
sesuatu dari dua pintu atau dari salah satunya, baik berupa zat maupun angin,
yang biasa ataupun tidak biasa, seperti darah baik yang keluar itu najis
ataupun suci, seperti ulat.
Firman Allah SWT:
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“atau kembali dari tempat buang
air.” (An-Nisa:43)
Dalam ayat tersebut
dikatakan bahwa orang yang datang dari kakus kalau tidak ada air hendaklah ia
tayamum. Berarti buang air itu membatalkan wudhu.
Sabda Rasulullah SAW :
لا يَقبَلُ الله صَلاَتَ
اَحَدِكم اذا اَحدَثَ حتَّ يتوضَّأَ – متفق عليه
“Allah tidak menerima salat
seseorang apabila ia berhadas (keluar sesuatu dari salah satu kedua lobang)
sebelum ia berwudhu.” (sepakat ahli hadits)
2.
Hilang akal
Hilang akal karena mabuk/gila. Demikian pula
karena tidur dengan tempat keluar angin yang tidak tertutup. Sedangkan tidur
dengan pintu keluar angin yang tertutup, seperti orang tidur dengan pintu
keluar angin yang tertutup, seperti orang tidur dengan duduk yang tetap,
tidaklah batal wudhunya. adapun tidur dengan duduk yang tetap keadaan badannya,
tidak membatalkan wudhu karena tiada timbul sangkaan bahwa ada sesuatu yang
keluar darinya. Ada pula hadits riwayat Muslim, bahwa sahabat-sahabat
Rasulullah SAW pernah tertidur, kemudian mereka salat atanpa berwudhu lagi. [9]
3.
Keluar Sperma
Keluarnya sperma yang menjadi sebab batalnya wudhu
adalah yang keluarnya tanpa rasa nikmatdan dikeluarkan dengan sengaja. Kecuali
ulama’ Syafi’iyah, dalam pandangan mereka keluarnya sperma menyebabkan seseorang
wajib mandi dan bukan sebab batalnya wudhu, baik keluarnya dengan kenikmatan
atau selainnya.
4.
Keluar Wadi
Wadi adalah cairan kental putih yang keluar
setelah buang air kecil. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas yang telah
kami sebutkan sebelumnya. Demikian pula halnya dengan air haadi, yaitu
cairan putih yang keluar dari kemaluan wanita sebelum melahirkan. Adapun sesuatu yang
tidak biasa keluar seperti cacing, tongkat, darah, dan nanah, maka hukumnya
sama, yaitu membatalkan wudhu. Kecuali ulama Malikiyah, menurut mereka
keluarnya sesuatu yang tidak biasa keluar dari dua jalan tidak membatalkan
wudhu, selama sesuatu yang keluar itu bukan karena sebelumnya orang tersebut
menelannya kemudian keluar. Jika sebelumnya orang tersebut menelannya maka
wudhunya batal.
5.
Menyentuh
wanita
Dalam pandangan ulama Hanafiyah, menyentuh wanita tidak membatalkan
wudhu, kecuali disertai dengan bertemunya dua kemaluan tanpa penghalang. Jika
hanya bersentuhan kulit satu dengan lainnya, maka tidak membatalkan wudhu. Hal
tersebut didasarkan riwayat dari Aisyah R.A. dia berkata:
“Rasulullah SAW pernah mencium sebagian istri beliau kemudian keluar
untuk mengerjakan sholat tanpa berwudhu lagi.” (HR.
Ahmad)
Sementara Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan
wudhu. Menurut pendapat mereka hokum tersebut juga berlaku bagi orang yang
menyentuh laki-laki yang memiliki paras cantik layaknya wanita, maka
menyentuhnya dengan kenikmatan dapat membatalkan wudhu.[10]
6.
Menyentuh
farji
Menyentuh kemaluan anak Adam dengan bathinnya telapak tangan dari
diri orang yang berwudhu dan lainnya, baik itu laki-laki atau perempuan, kecil
atau besar, masih hidup atau sudah mati.[11]
D.
Hikmah
Wudhu
1. Membersihkan dan Menyegarkan tubuh
Aktifitas
Wudhu dilaksanakan tidak semata-mata membasuh anggota tubuh dan untuk
menyegarkannya, namun wudhu adalah salah satu kewajiban yang dilaksanakan
ketika ingin melaksanakan ibadah (Shalat) bagi kaum muslim, secara logika
membasuh air pada bagian anggota tubuh akan membuat tubuh kita menjadi segar,
namun hikmah tersebdiri dari kesegaran itu adalah kebersihan dari anggota tubuh
yang dibasuh.
2. Menjernihkan pikiran dan akal
Akal merupakan suatu alat untuk
mengukur baik buruknya sesuatu, mengontrol bagian tubuh yang lain dan berbagai
perihal yang berhubungan dengan akal/pekerjaan otak. Pikiran dan akal manusia
adalah ujung tombak dari sebuah tindakan yang pada akhirnya berujung pada
tindakan yang dinilai baik dan buruk oleh orang lain.
3. Memelihara Akhlak
Dengan jernihnya akal dan pikiran
kita maka perilaku atau perbuatan kita akan terkontrol, perilaku dan aktifitas
yang terkontrol baik oleh akal akan membuat seseorang melakukan hal-hal positif
yang tentunya berakhlak.[12]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN:
A.
Pengertian wudhu
Wudhu merupakan salah satu syarat sahnya sholat (orang yang akan
sholat, diwajibkan berwudhu lebih dulu, tanpa wudhu shalatnya tidak sah.
B.
Rukun-rukun wudhu
Yang disepakati ulama’:
Membasuh muka, membasuh tangan, mengusap kepala, membasuh kaki
Yang diperselisihkan para ulama’:
Niat, berturut-turut, menggosok anggota wudhu
C.
Hal-hal yang membatalkan wudhu
1. Keluar sesuatu
dari dua pintu atau dari salah satunya
2. Hilang akal
3. Keluar sperma
4. Keluar Wadi
5. Menyentuh
wanita
6. Menyentuh farji
D.
Hikmah wudhu
1.
Membersihkan dan menyegarkan tubuh
2.
Menjernihkan pikiran dan akal
3.
Memelihara Akhlaq
DAFTAR PUSTAKA
Ulfah Isnatin. Fiqh
ibadah: menurut Al-Qur’an, sunnah dan tinjauan berbagai madzhab. Ponorogo:
STAIN PO PRESS, 2009
Abu Amar, Imron. Fathul qorib. Kudus: Menara Kudus, 1983
Ar-rahbawi,
Abdu Qadir. Fiqh Sholat: empat madzhab. Yogyakarta: Hikam pustaka, 2007
Rasyid, sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: sinar baru
aslgensindo, 1954
Zainuddin, dzajuli. Fiqh ibabah: panduan lengkap
versi ahlusunnah. Kediri: lembaga ta’lif wannasyr, 2008
A.
Illank, hikmah dan keajaiban wudhu (on line) http://cinikironk.blogspot.co.id/2013/09/hikmah-keajaiban-wudhu.html#
Diakses 13 September 2013
Muhammad
Saepullah, shalat dan wudhu menurut beberapa pendapat, (on line) http://www.pkbmberkah.org/?p=1202.
Diakses tanggal 5 Februari 2016
Nugraha Wisnu Putra, Hadas dan Najis, (online).
https://nugrahawisnuputra.wordpress.com.
Diakses tanggal 01 Desember 2014
[1] Nugraha Wisnu Putra, Hadas dan Najis, (online). https://nugrahawisnuputra.wordpress.com. Diakses tanggal 01 Desember 2014
[2] H. imron Abu Amar, fathul qorib (Kudus: Menara Kudus, 1983),
12.
[3] Muhammad Saepullah, shalat dan wudhu menurut beberapa pendapat,
(on line) http://www.pkbmberkah.org/?p=1202. Diakses tanggal 5
Februari 2016
[4] Isnatin Ulfah, Fiqh Ibadah: menurut Al-qur’an, Sunnah dan
tinjauan Berbagai Madzhab (Ponorogo: STAIN PO Press, 2009), 18.
[5] KH.A. Zainuddin Djazuli, Fiqh Ibadah: Panduan Lengkap Versi
Ahlusunnah (Kediri: Lembaga Ta’lif Wannasyr, 2008), 12.
[6] Isnatin Ulfah, Fiqh Ibadah: menurut Al-qur’an, Sunnah dan
tinjauan Berbagai Madzhab (Ponorogo: STAIN PO Press, 2009), 18.
[7] Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fiqh Shalat: empat madzhab (Yogyakarta:
Hikam Pustaka, 2007), 78.
[8] [8] KH.A.
Zainuddin Djazuli, Fiqh Ibadah: Panduan Lengkap Versi Ahlusunnah (Kediri:
Lembaga Ta’lif Wannasyr, 2008), 15.
[10] Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fiqh Shalat: empat madzhab (Yogyakarta:
Hikam Pustaka, 2007), 95.
[11] H. imron Abu Amar, fathul qorib (Kudus: Menara Kudus, 1983),
26.
[12] A. Illank, hikmah dan keajaiban wudhu (on line) http://cinikironk.blogspot.co.id/2013/09/hikmah-keajaiban-wudhu.html#
Diakses 13 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar